Skip to content

Saya Pernah Kecanduan Game: Ini Cara Saya Lepas dan Balik Fokus Bangun Bisnis

Beberapa bulan lalu, di tengah kebosanan, saya menemukan sebuah mobile game yang iklannya sangat menarik—konsepnya: menembak zombie untuk melewati stage berikutnya. Seru. Tapi begitu saya menyelesaikan tutorialnya, saya kaget: game ini tiba-tiba berubah jadi game Real Time Strategy ala-ala Clash of Clans. Dan di sinilah semua mulai berubah.

Hari ini saya mau cerita. Tentang bagaimana saya hampir kehilangan arah. Tentang bagaimana saya sempat lupa tujuan. Tentang kecanduan game—dan bagaimana saya berhasil keluar dari jeratannya.


Dari Bangun Brand Sendirian Sampai Lupa Diri

Mungkin kamu sudah tahu kalau saya membangun Stathfin seorang diri—dari nol, sambil tetap kerja full-time. Semua saya kerjakan sendiri: mulai dari kurasi konten, editing, posting, copywriting, desain web, bikin produk digital, setup chatbot, customer service, sistem pembayaran—semuanya.

Stathfin adalah proyek idealis. Saya pengin semua tulisan saya autentik. Bukan hasil outsource. Bukan tempelan motivasi murahan.

Awalnya, pertumbuhan Stathfin lambat. Setelah 100 hari posting berturut-turut, follower saya cuma 2.000. Nggak buruk, tapi juga belum layak dibanggakan.

Lalu, awal 2025, saya menemukan satu pola. Dan boom! Dalam 20 hari, follower saya naik jadi 20.000. Akun meledak. Income digital masuk. Saya mulai merasa aman. Nyaman. Saya mulai berpikir: “Kayaknya sekarang saya bisa santai deh.”

Kesalahan fatal.


Game masuk, Fokus hilang

Di pertengahan Februari 2025, saya mulai main game yang sedang booming saat itu: Last War.

Awalnya cuma 30 menit sehari. Tapi lalu, jadi 1 jam. Lalu 4 jam. Sampai pernah… 8 jam.

Mulanya saya main secara santai. Tapi kemudian mulai top-up: $10… $50… $100… dan terus bertambah.

Yang aneh, semakin saya main, semakin saya merasa “butuh” main. Setiap saya capai satu milestone, game itu kasih tantangan baru. Nggak pernah selesai. Nggak pernah cukup.

Saya mulai malas olahraga. Produktivitas menurun. Misi-misi game mulai saya prioritaskan lebih tinggi dari jadwal kerja.

Pernah satu waktu, saya lagi ikut meeting penting dari jam 7–10 malam. Tapi di waktu yang sama, ada event game yang “nggak boleh dilewatkan”. Sepanjang meeting, saya curi-curi buka HP, demi misi dalam game.

Yang paling menyedihkan: saya pernah melakukannya saat ibadah.


Bagaimana saya bisa sadar?

Awalnya saya berpikir, “Ah, cuma lima menit.” Tapi pola itu membentuk kebiasaan. Saya seperti anjing dalam eksperimen Pavlov—tanpa sadar, otak saya dikondisikan untuk terus kembali ke game itu demi hadiah digital. Dopamin terus dipicu. Saya jadi addict.

Bahkan saat nggak ada misi, saya tetap buka game. Menunggu misi berikutnya. Menunggu notifikasi. Menunggu trigger. Saya bukan lagi pengendali—saya dikendalikan.

Dopamin instan. Reward tanpa usaha besar. Inilah jebakan game modern.

Titik baliknya datang saat saya ikut program basecamp intensif 2 hari—tanpa HP.

Di sana, salah satu pembicara bicara soal kepemimpinan. Ia bertanya:

“Apa arti menjadi pemimpin?”

Saya menjawab, “Pemimpin adalah orang yang bisa memimpin dirinya sendiri, sebelum memimpin orang lain.”

Dan saya langsung terdiam.

Saya sadar: saya bahkan nggak bisa memimpin diri saya sendiri. Saya sudah jadi budak. Bukan pemimpin.

Di momen itu, saya merasa malu. Tapi juga tercerahkan. Dua hari tanpa game adalah digital detox yang menyelamatkan saya.

Begitu selesai, saya pulang dengan satu tujuan: saya harus berhenti. Total.

Saya jual akun game saya, hapus aplikasinya, dan putus semua notifikasi. Saya kembali. Saya bebas.


Jangan Percaya Alasan “Main Game Itu Wajar”

Sering banget saya dengar:

“Main game itu hiburan doang, kok. Cuma sesekali. Orang sukses juga main game!”

Omong kosong.

Nggak ada orang sukses karena main game buat senang-senang doang.
Yang sukses adalah mereka yang menjadikan game sebagai kompetisi dan pekerjaan.

Mereka bangun tim. Mereka riset. Mereka monetisasi. Itu kerja. Bukan ngelamun sambil main game 8 jam sehari.

“Emang ada orang yang kerjaannya main game dan dapat uang?”

Ada. Dan saya akan buktikan minggu depan.

Saya sudah interview langsung salah satu owner dari Farming House—tempat di mana 12 orang kerja full-time tiap hari cuma main game, tapi sebagai bisnis. Bukan pelarian. Bukan hiburan.

Mereka beda. Mereka bukan korban. Mereka pengendali.

Stay tuned. Saya akan rilis artikelnya minggu depan. Jangan sampai kelewatan.


Kamu Mau Tetap Jadi Budak Game, atau Mau Ambil Alih Hidupmu?

Sering kali kita nggak sadar bahwa game itu membentuk pola pikir pasif. Kita cuma ngikutin misi. Dapat reward. Dapat dopamine. Ulangi.

Tanpa sadar, kita jadi zombie digital.

Dan kalau kamu sekarang merasa:

  • Udah cukup uang
  • Mau refreshing aja
  • Nggak ada yang salah dengan main game

Ingat ini:

Jalan ke neraka itu nyaman. Jalan ke surga itu penuh rintangan.

Pilihan di tangan kamu:

  • Tetap jadi budak dopamine digital?
  • Atau bangkit dan ambil alih hidupmu?

Kalau Kamu Mau Berubah, Ini untuk Kamu

Kalau kamu merasa relate sama cerita ini, dan kamu tahu kamu harus berubah, saya mau kasih satu hadiah.

Sebuah modul yang saya tulis sendiri. Bukan sekadar teori. Tapi sistem nyata. Untuk bantu kamu mulai revolusi hidupmu.

Namanya:

🎯 New Money Framework

Framework untuk kamu yang siap keluar dari zona nyaman, membangun digital asset, dan jadi versi terbaik dari dirimu.

Klik link di bawah ini untuk akses modulnya:


Cheers,
Stathfin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *